Kau tahu, kita sudah lima hari tidak bertemu, dan itu membuatku ingin menangis karena begitu rindu berat. Dua hari saja tak bertemu batin rinduku menggebu, apalagi lima hari. Namun di hari kamis saat kau pulang dari kota dan kita berjumpa, kau hanya diam saja, seperti melamun. Entah apa yang kau pikirkan. Akupun tak berani mengajakmu mengobrol sepatah katapun. Mungkin ada yang sedang kau sembunyikan.

Kita berjalan bersama dua teman lainnya. Yang lain mengobrol, tapi kau masih tetap diam saja. Saat setelah mungkin seseorang sedang melihat wajahmu, dia menegurmu dan mengucapkan, “apa yang kau pikirkan?” kau hanya membalas dengan senyuman. Lalu aku mengatakan padamu tentang suatu hal hingga membuatmu marah. Atau mungkin kau diam barangkali tak ingin mengobrol padaku tentang suatu hal yang kau takut aku akan mengatakannya bahwa kau pergi beberapa hari yang tidak berkabar hingga memantik amarah beberapa orang yang terjadi di hari senin kemarin? seketika hatiku tersentak saat kau memarahiku. Jika kau berpikir kau tidak marah, tapi aku menganggapnya. Nada bicaramu tinggi, seolah-olah kau tidak senang apa yang barusan aku ucapkan padamu. Padahal itu fakta, kau pergi dengan dibekali uang sangu, tapi kau malah bilang, “duit apanya? Aku masih banyak hutang”. Persetan dengan utangmu.

Ucapanmu yang tinggi, seketika melukai perasaanku. Bahkan aku sendiri menyadari, ini bukanlah dirimu. Mungkin kau hanya menyimpan lelah yang tak berkesudahan sehingga kau melampiaskan amarahnya pada seseorang. Tapi kau marah bukan dengan orang yang tepat. Aku bukanlah tempat pelampiasan amarahmu. Beraninya kau memarahiku setelah bertahun-tahun tak kujumpai amarahmu yang dulu. Bahkan aku sudah lupa itu kapan terakhir kalinya.

Aku merasa, kebaikan dan kepedulian yang selama ini kutanam padamu, itu semua sia-sia. Sesuatu yang aku pikir kau tak akan pernah melakukan ini, ternyata kau masih bisa mengatakan hal itu padaku. Jadi selama ini ternyata kau belum mengerti arti dari kebaikan seseorang. Aku jadi ingat pepatah mengatakan, "berhenti menyirami tanaman mati. Saling menghargai itu omong kosong,kita dihargai ketika kita dibutuhkan". Aku cuma manusia biasa, merubah diri sendiri saja kadang kewalahan, apalagi mencoba merubah dirimu. Kau tidak tahu, pulang-pulang aku menangis. Seseorang yang aku cintai, begitu teganya berbicara nada tinggi di depanku.

Memang, selama ini aku telah yakin bahwa kau memang telah berubah. Sabtu yang sakral tak pernah lagi kita temui. Obrolan yang kecil tak pernah lagi kita lakukan setiap minggunya. Aku pikir sepasang sepatu dan beberapa kebaikan-kebaikan yang lainnya itu akan menjadi penguat bahwa aku selalu peduli tentang yang terjadi kepadamu. Apakah kepedulianku kau anggap tidak berarti selama ini, sehingga kau tega tak lagi menjadikan sabtu sebagai perjamuan rutin kita.

O barangkali kau merasa aku tidak lagi mengajakmu ke mana-mana. Atau mungkin kau yang menganggap aku berubah. Aku minta maaf. Mungkin aku yang salah karena merasa tidak pernah lagi mengajakmu makan atau sekedar ngopi di luar. Tapi asal kau tahu, bagaimana pun kau dan keadaanmu saat ini aku tetap mencintaimu sampai kapanpun. Belum ada yang mampu menandinginya. Kau masih pelipurlara hidupku. F1