https://ms.pngtree.com/

Hidup di akhir zaman, memang menyulitkan. Rasa syukur dapat mengalahkan keluh resah yang dirasakan. Karena disorot dari penglihatkan diri, melihat kehidupan orang merasa begitu menyenangkan. Padahal mereka sama saja seperti aku yang pasti ada saja cerita menyedihkannya. Bahkan bisa lebih buruk dari itu. Sungguh sudut pandang bisa menjebak dalam kehidupanku.

Sama halnya dengan diriku, mungkin banyak orang mengira hidupku bahagia tidak punya beban. Padahal sama halnya juga buruk. Itulah mengapa aku pandai menyembunyikannya. Tapi jika dipikirkan begitu sesak, rasanya begitu sangat menyedihkan. Rasa penyesalan selalu datang ketika hembusan napas satu kali ketika sedang merenung. Apalagi sendiri.

Apalagi saat ngopi di warung bersama kawan, ada sesi curhat yang tersampaikan bahwa hidup sedih terkadang tak ada habis-habisnya. Bahkan yang punya duit banyak pun dapat mengeluh. Padahal hidupnya sudah pasti aman dari meneguk ludah sendiri saat hendak sesuatu.

Apalagi aku yang mungkin tak tahu sampai kapan bisa punya rumah sendiri. Boro-boro, bahkan aku merasa hidupku saja begitu sia-sia untuk dilanjutkan. Penyakit yang menyerangku membuatku tak bisa lagi menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya. Jadi untuk itu rasa syukurlah yang harus aku tingkatkan agar kebahagiaan serta merta menyertaiku.

Begitu beruntung. Tapi entahlah! Apakah ini sebuah malapetaka. Tapi apapun itu tetap kusyukuri segala dari segala yang membuatku terus berjalan walau hanya diiringi dengan air mata. Bahkan hujan saja tak mampu menutupi rasa sedih yang aku rasakan saat air mata ini terus saja jatuh di pipi. Melihat orang-orang begitu bahagianya yang begitu pandai menyelimuti segala keresahannya. Terkadang aku mampu untuk itu. Tapi bisa saja hanya berdiri sendiri. Diam, dan tak berdaya.

Bahwa sejatinya aku tak pandai untuk itu. Aku hanya meraba-raba bagaimana rasa syukur itu diciptakan. atau apakah aku butuh genggaman seseorang untuk melewati segala yang menyulitkan ini. Tapi entah siapa yang menerima segala yang menjadi luka menahan itu untuk turut menjadi syukurnya. Aku pikir tak ada yang mampu. Itulah sebabnya aku berhenti untuk jatuh cinta pada siapapun. Sebab hidupku kalut. Tak ada yang mau menghadapi segala keruwetan itu. Lagi-lagi aku meraba-raba kepada siapa jemariku digenggam seseorang. 

Segala syukur terus menjadi kebimbangan.