
Bulan Juni ternyata adalah hal paling terberat
dalam hidupku. Begitu banyak kesedihan sangat perih yang aku rasakan. Lebih
sakit dari kehilangan. Lebih pedih dari hal tentang dilupakan. Biasanya hidupku
selalu dipenuhi kebahagiaan walau setiap hari aku terkadang dicemooh.
Awal Juni tepatnya
pada Sebelas Juni, mendengar kabar sesuatu yang tidak pernah sama sekali aku
memikirkan hal itu akan terjadi dalam hidupku. Hal-hal yang membuatku berpikir, “aku
tidak lagi sama, kini aku berbeda”. Sedih yang kurasakan rasanya mustahil.
Hanya bisa berdiam diri. Tubuhku terlempar kesudut ruangan, sepi dalam
keramaian.
Mengapa ini terjadi.
Begitu sakit. Seketika turut selalu berpikir positif dengan hal musibah yang
datang pada diri manusia. Seketika aku teringat surat Al-Baqarah: 286. “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya …”. Tapi
Tuhan, apakah aku benar-benar sanggup?
Asmaraku juga
bermasalah. Seseorang yang aku cintai entah benar-benar mencintaiku atau tidak.
Dan akupun entah harus menunggu atau berhenti berharap. Rasanya
terngiang-ngiang dalam kalimat temanku, “sekuat apapun kau mencintai seseorang,
jika Tuhan memilih pasangan hidupmu yang lain, kau bisa apa?”. Hingga sampai
detik ini aku pun masih saja memikirkan ujaran itu.
Tapi apakah boleh aku mencintai
dan menyayangi seseorang yang tidak akan bisa aku gapai? Seseorang yang
jelas-jelas tidak bisa aku miliki, setidaknya bisa tinggal satu atap dan
menceritakan banyak hal tentang hidupku dan hidupnya. Tentang masalah yang
selalu terjadi. Tentang kebahagiaan, tentang perjalanan detik yang menemani langkah kita dan membahasnya sebelum tidur. Tapi apa daya tanganku tak kuat
menopang kepedihan ketika kini aku tahu ia sudah memilih seseorang untuk
dijadikan pasangan hidupnya. Entahlah, aku seperti ditinggalkan di kamar yang
selalu menjadi tempat kita bercerita banyak hal. Yang biasanya kau tidak pernah
melihat telepon genggammu berlama-lama, tapi sekarang detik pun kalah melaju
hanya karena seseorang. Tapi aku pernah mengatakan padanya bahwa aku bahagia jika
kau bahagia. Persetan dengan kalimat itu pada dasarnya. Sakit dan perih selalu
saja membekas ketika aku melihatnya tersenyum, tapi itu untuk orang lain.
Dalam hidup, tentang
seseorang yang datang dan pergi adalah dua kata yang selalu saja menghantui.
Aku sudah pernah merasakannya, pedih. Tapi syukur aku bisa melupakannya. Tapi
yang ini, terkadang aku memohon kepada Tuhan agar tidak dijauhkan darinya
sampai kapanpun. Terkadang juga aku membencinya, sehingga kepada Tuhan aku
meminta untuk dijauhkan pula darinya. Aku pikir separuh hidupku sekarang berada di
genggamannya.
Tapi bolehkah aku
meminta lagi, Tuhan?
Begitu random untuk
diutarakan. Begitu banyak hal-hal kesedihan yang aku rasakan. Mencoba Bahagia
di muka umum. Jika tidak bahagia, sulit juga untuk merekahkan senyum bibir yang
seharusnya tidak lagi untuk ditampakkan. Dan aku tidak pandai menyembunyikan
kegalauan dalam pandang mataku. Hati kecilku terluka hebat jika menghadapi hal-hal yang
membuatku sedih dan patah hati. Jadi untuk apa memberikan senyum tapi perasaanku
bersedih?
Membicarakan masalah
kepada orang lain sama halnya membuka aib sendiri. Kebanyakan manusia hanya
ingin tahu masalah apa yang kita hadapi. Apalagi masalah yang dihadapi
bertentangan dengan pemikirannya, sehingga yang disampaikan bukan lagi nasehat,
malah jadi bumerang buat kita. Ada masalah yang perlu diceritakan, dan ada
masalah yang baiknya hanya diri kita sendiri yang simpan. Sehingga permasalahan
yang terjadi tidak berbuntut panjang.
Senja yang kulihat tak seindah dengan kehidupan yang aku rasakan. Tapi lagi-lagi apakah Tuhan memang benar-benar membebani ini sesuai kesanggupanku? Lagi-lagi aku menangis. Sedih rasanya harus merasa sendirian di tengah keramaian.
Bolehkah aku pulang sekarang, Tuhan?
0 Comments