Saat kutelusuri jejalanan setelah subuh itu, rindu tiba-tiba datang, kebetulan di Sabtu dini hari —yang padahal biasanya setiap pagi Sabtu waktunya untuk ke warung kopi, sekedar menyeduh. Padahal yang selalu kami pesan ialah teh hangat, tidak pekat dengan sedikit gula. Pas memang diminum di pagi hari .

Tiba-tiba seperti sudah terbiasa dengan kehilangan rutinitas, tanpa pernah lagi menghitung apa yang hilang, dan tidak terasa mungkin sudah setahun berlalu, entah mungkin sudah setahun lebih semenjak setelah idul fitri tahun lalu.

Tidak terasa kehilangan. Kehilangan semua apa yang selalu terjadi setiap pagi setiap harinya. Dari menjemput dan membangunkan langsung dari depan pintu kamarnya. Terlambat untuk shalat sunnah fajar, ke Masjid Sepakat untuk menghadiri pengajian yang menjadi rutinitas setiap paginya. Ziarah kekuburan setiap pagi Jumat. Dan hal yang paling ditunggu setiap Sabtu pagi itu.

Tak lupa sebelum ke warung kopi itu, singgah sebentar membeli roti yang baru saja digoreng untuk bekal percakapan yang selalu random untuk dibahas. Meja sudut dinding selalu jadi tempat ternyaman untuk dipilih, terkadang selalu diisi oleh orang lain. Mungkin terlambat beberapa menit.

Tak jarang juga dua minggu sekali makan berat, seperti nasi gemuk bahkan martabak sekalipun. Bergantian membayarkan setiap minggunya. Kadang lupa, kadang bercanda. Pulang pulang jadi kenyang.

Sabtu pagi itu. Kini terlihat sayup. Tak kulihat lagi rutinitas itu semenjak kepergianmu. Malahan ngantuk yang membuatnya menghilang, karena merasa sendiri itu tidak enak. Sepi sendiri menggumam sendiri.

Tak terasa sudah setahun lebih ia hilang terhitung Sabtu dini hari ini. Tak bakal lagi kutemukan suara motor yang dinyalakan subuh saat adzan berkumandang, dan wangi Sabaya di bajumu. Melihat ustadz Yusuf dan merasakan nafas yang tak memiliki ruh. Selamat tinggal kenangan, selamat jalan masa lalu. iy